Agar Women Support Women Tak Hanya Jadi Jargon Semata untuk Majukan Sesama Perempuan
robbanipress.co.id, Jakarta – Perempuan mendukung perempuan, semakin banyak terdengar kampanye yang bertujuan untuk mendorong sikap saling memberdayakan perempuan. Apakah ini benar-benar bisa diterapkan atau hanya sekedar jargon saja?
Lingkungan Puteri Indonesia 2024 Sophie Kirana meyakini hal tersebut sebenarnya bisa dilakukan dan harus dilakukan. Kalau bukan perempuan, siapa lagi? Tidak mungkin laki-laki, ujarnya saat ditemui tim gaya hidup robbanipress.co.id saat pembekalan literasi keuangan di BCA beberapa waktu lalu.
Dukungan antar perempuan, lanjutnya, tidak harus muluk-muluk. Ia mencontohkan pengalamannya selama mengikuti kontes Miss Indonesia 2024. Meski saling bersaing, ia dan rekan-rekan finalis mampu saling membantu di balik layar.
“Sederhana berpakaian, susah beritsleting, pasti membantu di belakang layar…sederhana. Ini contoh nyata perempuan mendukung perempuan,” ujarnya.
Ia pun sepakat bahwa kampanye ini harus terus dilanjutkan dan digencarkan, karena disadari atau tidak, perempuan masih sering memiliki pola pikir yang mempertanyakan kemampuan perempuan lainnya. Bahkan jika sebagian wanita diperlakukan lebih, sebagian wanita lainnya akan menyalahkan keistimewaan mereka yang berpenampilan menarik.
“Iya, mungkin kecantikan itu ada haknya, tapi hanya kecantikan saja, tidak dibarengi dengan kecerdasan dan perilaku, kita tidak bisa kemana-mana, kita selalu terjebak disana, kita menjadi cantik. Tapi kalau misalnya kamu cantik, juga berkepribadian baik dan pintar, semua orang suka dan semua orang akan dimanfaatkan lagi (dalam kapasitasnya),” ujarnya.
“Menjadi cantik hanya kesempatan pertama. Kalau misalnya pikirannya tidak bagus, orang tidak akan senang mempekerjakannya lagi, bukan?” Banding tersebut bersifat final.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Amanda Simonjuntek, pendiri dan direktur Markoding, yang mengatakan bahwa kampanye dukungan terhadap perempuan merupakan hal yang patut dilakukan karena perempuanlah yang paling bisa bersimpati dengan keadaan perempuan lain, dan terlebih lagi ada merupakan stigma atau stereotip terhadap perempuan yang harus dipatahkan.
“Mungkin kita sering mendengarnya, misalnya dulu dari keluarga. Laki-laki mungkin yang pertama berinvestasi di bidang pendidikan. Lalu di dunia kerja, kita masih sering mendengar ada perbedaan upah atau standar upah yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Jadi kalau “perempuan mereka melamar pekerjaan, di jalan Umumnya mereka suka ditanya apakah mereka akan menikah atau tidak? Apakah mereka akan punya anak? Karena mereka pikir produktivitasnya akan menurun. Itu satu hal yang tidak akan dilakukan laki-laki.” Jangan tanya,” jelasnya.
Padahal, kata Menda, yang dibutuhkan perempuan adalah kesetaraan akses. Oleh karena itu, perempuan yang menduduki posisi lebih tinggi didorong untuk membuka akses terhadap perempuan lain yang lebih terbatas atau tidak mendapat dukungan dari lingkungannya.
“Sungguh, tugas kami adalah memberdayakan perempuan lain,” ujarnya.
Di sisi lain, Manda mengakui ada beberapa kasus perempuan yang mengaborsi perempuan lain. Namun, dia tidak setuju dengan cara berpikir tersebut. Pasalnya, hubungan saling menghina ini tidak hanya terjadi antar perempuan saja, tapi juga bisa terjadi antara laki-laki dengan perempuan dan antar laki-laki.
“Ini (penghinaan terhadap perempuan) erat kaitannya dengan representasi di media, di iklan, di film, ketika di cerita, di jejaring sosial, perempuan dibicarakan siapa yang meremehkan perempuan, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Menurut saya, adanya bias gender terhadap perempuan yang menindas perempuan adalah tindakan ilegal. “Itu hal yang netral saja,” ujarnya.
Untuk menghindari hal ini, Anda memerlukan kemampuan mengidentifikasi diri sebagai seorang wanita. “Jika kita berempati, kita bisa menempatkan diri kita pada posisi perempuan lain. Kita tentu ingin memberdayakan mereka, bukannya meremehkan mereka,” yakinnya.
Berdasarkan kesadaran tersebut, bersama dengan Yayasan Diana Sastarverdoyo dan Magnificent, ia mengadakan Program Inovasi Perempuan yang masuk pada Kelompok III pada tahun ini. Program ini diselenggarakan untuk memfasilitasi perempuan yang ingin belajar dan berkarir di bidang IT.
Sementara itu, psikolog anak, remaja, dan keluarga Rosdiana Stinningrum menilai dukungan perempuan sebenarnya lebih dari sekedar jargon karena perempuan sebenarnya suka berbagi. Memiliki kualitas ekspresif emosional, yaitu kemampuan mengekspresikan emosi dengan lebih baik, wanita lebih mudah bersosialisasi
“Terbukti perempuan lebih suka belajar dan berbagi karena emosional dan ekspresif. Mengadakan acara networking lebih mudah bagi perempuan, karena laki-laki pada dasarnya, entah kenapa, tidak terlalu antusias,” ujarnya.
Jika wanita kebanyakan membangun hubungan di acara-acara yang melibatkan banyak orang, pria lebih memilih membangun hubungan di acara-acara yang berkaitan dengan hobinya. “Jadi bapak-bapak, misalnya networking sambil main golf atau olah raga hobi lainnya ya sambil olah raga sambil networking. Kalau yang perempuan hanya boleh acara networking,” ujarnya dalam berbagai kesempatan.
Di sisi lain, ada pula ciri-ciri perempuan yang bersifat mengasuh atau mengayomi atau melindungi. Di sisi lain, sifat ini diperlukan, namun bisa menjadi sia-sia jika menyentuh ego seseorang. “Belum tentu ngurus orang lain ya? Bisa saja ngurus keluarga, bisa juga ngurus diri sendiri saja,” ucapnya.
Oleh karena itu, agar perempuan bisa berempati terhadap perempuan lain, diperlukan kemampuan kerjasama yang lebih baik. Jika mereka gagal bekerja sama, dia menuntut untuk mencari tahu alasannya. “Apakah karena kurang percaya diri sehingga merasa terancam sehingga enggan? Atau takut dikalahkan sehingga tidak mau bekerja sama? Solusinya adalah percaya diri.”