Stres Meningkat, Gen Z dan Wanita Rentan Terkena Burnout

Read Time:3 Minute, 28 Second

robbanipress.co.id, Jakarta – Di era modern yang serba cepat dan sibuk, burnout menjadi wabah yang mendera banyak orang. Generasi muda, seperti Generasi Z dan perempuan, tidak kebal terhadap atrisi.

Menurut laporan Forbes, burnout adalah kondisi pikiran yang menggambarkan perasaan kelelahan dan terjebak dalam pekerjaan tanpa peluang untuk berkembang. 

Studi terbaru menunjukkan bahwa tingkat stres global meningkat, dan Generasi Z serta perempuan adalah kelompok yang paling rentan terhadap kelelahan. Fenomena ini patut diperhatikan karena kelelahan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental dan fisik, serta performa kerja dan kehidupan pribadi.

Penelitian terbaru dari Future Forum menunjukkan bahwa stres di tempat kerja telah mencapai tingkat tertinggi sejak musim semi 2021. Dari 10.243 pekerja kantoran penuh waktu, lebih dari 40% mengatakan mereka mengalami kelelahan.

Angka ini menandai rekor tertinggi baru sejak Future Forum mulai meneliti kelelahan terkait pekerjaan pada Mei 2021. Saat itu, 38% pekerja melaporkan kelelahan, seperti dikutip CNBC.

Studi ini juga menemukan bahwa perempuan dan pekerja di bawah usia 30 tahun berisiko lebih besar mengalami burnout. Hampir separuh (48%) generasi muda berusia antara 18 dan 29 tahun mengatakan bahwa mereka merasa kelelahan dibandingkan dengan 40% remaja berusia 30 tahun ke atas.

Perempuan (46%) juga melaporkan tingkat kelelahan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (37%).

Para ahli sepakat bahwa tekanan yang saling terkait antara COVID-19 dan ketidakpastian ekonomi telah memperburuk stres dan ketidakterlibatan kelompok-kelompok ini.

Stres kerja dapat terjadi karena berbagai hal. Budaya kerja yang tidak menentu dan kompetitif, disertai ekspektasi kerja yang tinggi menjadi faktor utamanya.

Saat ini, pekerjaan bukan sekedar status dan pendapatan, tetapi juga legitimasi, tujuan dan realisasi diri. Batas antara bekerja dan bersantai semakin kabur dengan teknologi modern yang memungkinkan kita selalu terhubung. Hal ini menyebabkan pikiran kita terfokus pada pekerjaan, yang menyebabkan stres dalam jangka panjang.

Generasi Z dan generasi muda milenial yang memasuki dunia kerja di era pandemi global dan krisis ekonomi mengalami tingkat stres dan burnout yang tinggi. Kekhawatiran terhadap inflasi, resesi dan konflik geopolitik, serta kurangnya kontrol dan stabilitas dalam karir mereka, merupakan faktor penyebab utama.

Psikolog Debbie Sorensen menjelaskan bahwa generasi ini tumbuh di bawah tekanan untuk mencapai level tinggi, namun menghadapi situasi kerja yang kacau dengan kesempatan yang terbatas. Perubahan kebijakan kembali ke kantor, PHK massal, dan pembekuan karyawan memperburuk situasi dan memicu kelelahan kerja.

Ketidakpastian dan kurangnya kendali terhadap karier membuat Generasi Z dan generasi muda milenial merasa cemas dan kurang puas dalam bekerja. 

Situasi kelelahan, yang ditandai dengan kelelahan dan stagnasi di tempat kerja, tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga organisasi.

Menurut studi Asana yang dilansir Forbes, karyawan yang mengalami burnout lebih rentan mengalami penurunan semangat kerja (36%), kurang berpartisipasi (30%), lebih banyak melakukan kesalahan (27%) dan kurang komunikasi (25%).

Risiko mereka untuk keluar dari perusahaan juga meningkat (25%).

Hal ini menunjukkan bahwa burnout dapat mengakibatkan hilangnya karyawan yang bertalenta, berkurangnya produktivitas, dan rusaknya moral organisasi.

Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk mengambil langkah proaktif untuk mencegah dan mengatasi kelelahan di kalangan karyawannya.

Sebuah studi Gallup menunjukkan bahwa perempuan mengalami tingkat kelelahan kerja yang jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kesenjangan ini bahkan meningkat dua kali lipat sejak tahun 2019.

Ketidaksetaraan gender menjadi salah satu faktor utama penyebab hal ini. Perempuan memiliki lebih sedikit peluang untuk maju, namun sering kali hanya menjadi kepala keluarga tunggal dan harus melakukan pekerjaan tidak berbayar. Hal ini memperparah kelelahan kerja yang mereka alami.

“Pekerjaan perempuan pada umumnya dibayar lebih rendah, dan banyak dari mereka, seperti pekerja di bidang kesehatan dan perawatan lansia, menjadi ‘sangat stres’ setelah pandemi ini,” kata psikolog Debbie Sorensen.

Memburuknya krisis pengasuhan anak juga merupakan faktor lain yang menambah stres dan frustrasi perempuan.

Brian Elliott, CEO Future Forum, menjelaskan bahwa “kurangnya layanan penitipan anak yang terjangkau dan mudah diakses mendorong perempuan, bukan laki-laki, untuk meninggalkan atau berganti pekerjaan.”

Selain itu, dampak epidemi ini juga lebih dirasakan oleh perempuan. Perempuan membutuhkan waktu tiga tahun untuk pulih dari kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini, dibandingkan dengan laki-laki yang memerlukan waktu kurang dari dua tahun.

Sorensen mengatakan, “Kami belum punya waktu untuk pulih dari trauma yang kami alami dalam beberapa tahun terakhir.” Tekanan untuk terus bergerak maju dan bekerja tanpa mengkhawatirkan kesehatan mental semakin membebani perempuan dan generasi muda.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Investasi yang Baik Harus Bisa Menyerap Tenaga Kerja
Next post Harga Minyak Dunia Hari Ini Merosot, Bakal Makin Anjlok?