Belajar dari Edinburgh-Skotlandia Soal Kampus Ramah Disabilitas
robbanipress.co.id, BANDUNG – Tidak ada salahnya belajar dari negara lain dalam menerapkan aturan main di SMA, khususnya bagi penyandang disabilitas. Misalnya, Universitas Edinburgh (UoE) di Skotlandia telah menambahkan peraturan mengenai perlakuan terhadap mahasiswa penyandang disabilitas.
Inilah salah satu cerita penting berikutnya dari perjalanan tiga dosen muda mata kuliah komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) selama seminggu menginap di Skotlandia, yakni di UoE pada 4-8 Maret. Pekerjaan ini merupakan implementasi dari hibah yang disebut ‘Hibah Kemitraan Integrasi Disabilitas UK-ID’ yang diberikan oleh British Council di Indonesia.
Selama berada di UoE, tim pengajar dikunjungi oleh Profesor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES), yang merayakan hari jadinya yang ke-175 tahun ini.
Keramahan para staf juga memastikan suasana hangat di Edinburgh, yang suhunya 0 derajat. “Di Skotlandia, jika sekolah atau kampus menolak calon siswa penyandang disabilitas, itu merupakan suatu pelanggaran. Mau tidak mau, kita harus melakukannya dan itu sebabnya perguruan tinggi tidak bisa bekerja sama dengan sekolah,” kata dosen UAI Cut Meutia Karolina yang berkunjung ke Edinburgh bersama Edoardo Irfan dan Ketua Program Studi Komunikasi UAI Gusmia Arianti.
Dikatakannya kepada Republica, Ketua Program Studi Komunikasi UAI, Gusmia Arianti, bahwa perjalanan ke Skotlandia sangat penting tidak hanya bagi UAI tetapi juga bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Ia mengatakan, pekerjaan ini penting dalam mempersiapkan diri menjadi kampus ramah disabilitas.
“Kedepannya kami bisa berbagi informasi dengan masyarakat luas. “Kami dididik di sekolah yang tepat karena MHSES adalah yang pertama di Skotlandia dan ke-13 di dunia untuk mata pelajaran pendidikan,” ujarnya.
Saat ini, seperti yang diungkapkan Edoardo Irfan, pendidikan tinggi di Skotlandia lebih baik daripada penegakan hukum. Dia mengatakan sekolah dan perguruan tinggi di Skotlandia memiliki sejarah panjang dalam menerapkan prinsip-prinsip ini, dengan fokus, pengawasan dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan utama.
“Pendidikan inklusif benar-benar bersifat budaya,” kata Edo. Dalam dokumen lain di Skotlandia, negara bagian memberikan insentif bagi sekolah dan perguruan tinggi untuk menerima siswa penyandang disabilitas. Oleh karena itu, lanjutnya, sekolah atau pengurusnya diminta untuk menciptakan lingkungan yang mendukung penuh penyandang disabilitas.
“Itulah sebabnya mereka bergerak sangat jauh dari hak-hak pribadi. Misalnya saja ini hanya sekedar definisi, di Skotlandia definisi disabilitas telah diperluas. “Kesehatan jiwa, yaitu gangguan jiwa siswa dalam belajar, termasuk dalam kategori disabilitas,” kata Edo.
Dalam keterangan yang diperoleh Republik dari UAI, Profesor John yang merupakan Ketua Bidang Childhood Visual Impairment mengungkapkan kegembiraannya bisa menjadi tuan rumah bagi UAI. Menurutnya, jika perguruan tinggi di Indonesia seperti UAI mulai menyelenggarakan pendidikan inklusif sejak dini, maka hal itu akan menjadi hal yang sangat baik.
“Hal ini memberikan keleluasaan bagi kami untuk berkontribusi sejak dini dan kami berharap ini dapat menjadi program percontohan yang dapat menjadi panduan bagi sekolah-sekolah lain di Indonesia,” kata John.
Selain berbicara dengan John, Elizabeth dan rekan-rekan mereka, sekelompok guru muda UAI bertemu dengan lulusan penyandang disabilitas, guru dari seluruh Inggris dan mengambil bagian dalam studi tentang persiapan siswa tunanetra.
Mahasiswa muda UAI berkesempatan berbincang dengan perwakilan Communication, Access, Literacy and Learning (Call) di Edinburgh, sebuah organisasi nirlaba bagian dari MHSES yang bertujuan membantu anak-anak dan remaja penyandang disabilitas.
Tak lupa para pengajar UAI juga mengikuti seminar “Dukungan sosial dan emosional bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi” dan diskusi dengan peneliti dari Australia mengenai pendidikan inklusif di negaranya. Hidangan hangat di sebuah restoran di pusat kota Edinburgh menandai berakhirnya perjalanan pendidikan melalui kota yang memiliki tampilan dan nuansa unik abad ke-15.
Di akhir tur, John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dijadwalkan mengunjungi Indonesia pada pertengahan Mei 2024. Dalam kunjungannya, akan diadakan seminar dan pelatihan bagi para guru tentang cara membuat materi pembelajaran yang dipersonalisasi.
Mereka akan bekerja sama dengan UAI untuk menyusun pedoman Kampus Ramah Sahabat Tunanetra. “Ini adalah proyek percontohan bagi universitas lain untuk mempersiapkan atau mengembangkan kebijakan penerimaan mahasiswa penyandang disabilitas,” kata Meutia Karolina kepada Cut.