Hari DBD ASEAN 15 Juni, Kemenkes: Kini Dengue Bukan Hanya Masalah Negara Tropis
robbanipress.co.id, Jakarta – Hari Dengue ASEAN diperingati setiap tahun pada tanggal 15 Juni untuk meningkatkan kesadaran tentang demam berdarah dengue (DBD) di Asia Tenggara.
Dalam kesempatan Hari DBD ASEAN, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan kasus DBD paling banyak ditemukan di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Faktanya, kasus demam berdarah kini telah menyebar ke wilayah Alaska yang lebih dingin.
“Dulu kita mengira demam berdarah adalah penyakit tropis, tapi sekarang kita punya demam berdarah di belahan dunia utara (Alaska). “Dulu hanya di Asia, sekarang di Amerika, Eropa, Amerika Selatan, Brazil,” kata Imran dalam jumpa pers di Jakarta, 14 Juni 2024.
“Jadi ini bukan lagi masalah Indonesia (saja), bukan masalah negara tropis, negara berkembang, tapi sudah menjadi masalah negara maju juga,” imbuhnya.
Secara global, lanjut Imran, demam berdarah sudah menjadi penyakit tropis terabaikan (NTD).
Berdasarkan data tren demam berdarah di negara-negara endemis sejak tahun 2023 yang disampaikan Imran, angka kejadian demam berdarah di Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Brazil.
Posisi Indonesia masih rendah, namun sebenarnya masih ada kasus DBD yang belum dilaporkan, kata Imran.
Imran juga menjelaskan peningkatan kasus DBD di Indonesia. Dari data siklus bulanan yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 hingga 2023, terlihat angka kejadian penyakit DBD mengalami peningkatan.
“Dari siklus bulanan ini kita mengetahui bahwa peningkatan kasus DBD biasanya dimulai pada bulan November atau Desember dan puncaknya pada bulan Januari atau Maret. Dan dalam 10 tahun terakhir, peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2016.”
Ia menambahkan, dahulu siklus DBD selalu dikaitkan dengan fenomena El Nino, yaitu jeda antar siklus tiga tahunan. Namun, periode siklus akhir-akhir ini telah berkurang karena perubahan iklim.
“Di Jakarta mungkin tidak ada siklus karena itu terjadi, jadi (kasus DBD) akan selalu ada.”
Kabar baiknya, jumlah kasus DBD di Indonesia mulai menurun, tidak sebanyak pada bulan Maret atau April.
“Sekarang tren penyakit nasional sedang menurun, hingga kita mendengar banyak laporan pada bulan Maret dan April bahwa rumah sakit penuh sesak.”
“Dan kalau soal rumah sakit, kalau kita konfirmasi ke rumah sakit, ternyata hanya rumah sakit itu yang sibuk. Tidak ada rumah sakit lain di daerah lain. “Mungkin orang suka ke sana, jadi kelihatan penuh,” jelas Imran.
Pada April tahun lalu, peningkatan penyakit demam berdarah tercatat tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 7,6 juta kasus demam berdarah telah dilaporkan pada 30 April 2024. Termasuk 3,4 juta kasus terkonfirmasi, lebih dari 16.000 kasus parah, dan lebih dari 3.000 kematian.
“Selama lima tahun terakhir, terjadi peningkatan signifikan jumlah kasus demam berdarah di seluruh dunia,” demikian pernyataan resmi WHO pada 30 Mei 2024.
Salah satu wilayah dengan kejadian demam berdarah tertinggi adalah benua Amerika, yang jumlah kasusnya melebihi tujuh juta pada akhir April 2024. Angka tersebut melampaui jumlah maksimal kasus tahunan yaitu 4,6 juta kasus pada tahun 2023.
Pada tahun 2024, 90 negara dilaporkan mengakui penularan demam berdarah aktif, namun tidak semuanya dilaporkan secara resmi. Selain itu, banyak negara endemis tidak memiliki mekanisme deteksi dan pelaporan yang kuat, sehingga beban sebenarnya dari demam berdarah masih dianggap remeh secara global.
Untuk mengendalikan penularan secara lebih efektif, diperlukan surveilans demam berdarah yang kuat dan real-time untuk mengatasi kekhawatiran mengenai potensi kasus yang tidak terdeteksi. Faktor ko-sirkulasi dan kesalahan diagnosis, seperti arbovirus lain, serta pergerakan perjalanan yang tidak dilaporkan, juga harus dipertimbangkan. Hal ini karena faktor-faktor ini mungkin berkontribusi terhadap penyebaran penyakit yang tidak diketahui dan menimbulkan risiko penularan lokal di negara-negara non-endemis.